Maya menutupi kedua wajahnya dengan tangan. Berusaha menepis sinar matahari yang menerangi wajahnya. Sejujurnya dia paling tidak suka dengan cuaca panas seekstrim ini. Selain membuat sungai yang sering ia lewati menjadi kering, cuaca semacam ini juga kadangkala membuat hatinya gampang panas.

Maya jadi ingat, bagaimana bodohnya ia menguntit kakaknya yang sedang berduaan dengan wanita di dalam gudang sekolah. Meski sejak kecil kakaknya jarang terlihat marah, tapi kelakuannya tadi pagi menurutnya sudah sangat keterlaluan.

Belum sempat Maya mencari cara untuk minta maaf, sang kakak rupanya sudah berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri. Langkah gadis itu sempat terhenti. Rambutnya yang pendek sebahu melayang layang hingga menutupi sebagian wajahnya. Sang kakak masih menatapnya dari kejauhan.

“Bodoh”, katanya dengan nada ketus, “sedang apa tadi kamu di dalam gudang?” Tanya kakaknya begitu tanpa sengaja memergoki adiknya yang ketauan sedang bersembunyi di balik kardus bekas.

“Kakak sendiri sedang apa berduaan dengan perempuan disana.” Balas Maya balik bertanya. Bukannya merasa takut, sang kakak dengan tenang justru menjawab,

“Sedang menampung curahan hati seseorang.” Balasnya membuat adiknya mengerutkan kening, “sudah tau kenapa masih tanya.” Agak menyebalkan sang kakak menatap adik ya keki.

Jelas jelas Maya melihat kejadian yang dialaminya tadi di dalam gudang. Bagaimana nekatnya teman sekelasnya itu menyatakan cinta padanya.
“Iya maap. aku mana tau cewek itu mau nyatain perasaanya.” Jawab Maya berusaha membela diri.
“Lagian buat apa juga kamu ngikutin kakak? Kamu penasaran?” Tanya kakaknya kali ini berhasil membuat Maya menundukkan kepala dan malu.

Mengetahui bahwa kakaknya tidak mudah untuk dibohongi, Maya akhirnya terpaksa mengutarakan pikirannya selama ini.

“Iya, aku memang penasaran.” Kata gadis itu akhirnya, mulai berani menatap kakaknya lagi,” Aku penasaran karena kakak selalu menolak cewek cewek yang mendekati kakak. Sebagai adik, mana mungkin aku enggak pingin tau.”
Devon hanya diam mendengar alasan adiknya. Dia mengembuskan nafas perlahan sebelum akhirnya berjalan mendekati adiknya.

“Dasar kepo.” Katanya tau tau menempeleng kepala gadis itu.
Maya yang awalnya memasang wajah serius, mendadak murka.
“Kak Devon!!!” Teriaknya akhirnya sambil mengejar kakaknya yang lari tunggang langgang.

“Devon, Maya, besok paman sama bibi rencananya mau main ke rumah kita. Udah lama juga kan mereka enggak kesini, dan berhubung kamar tamu lagi direnovasi, untuk sementara mereka tidur di kamar Maya ya.” Ujar ibunya saat mereka sekeluarga tengah menikmati makan malam. Ayahnya yang duduk di samping Maya hanya diam. Maya yang sejujurnya merasa keberatan sempat diam, seakan sedang mencerna ucapan ibunya barusan.
Dari depan meja, Devon menatap adiknya yang terbengong bengong.
“Ibu serius?” Tanya Maya akhirnya membuka suara. Agak bingung ibunya menjawab,
“Iya ibu serius. Memangnya kenapa? Kamu keberatan kamarmu dipinjam paman sama bibi?”
“Bukan gitu Bu, tapi masalahnya kalau kamarku dipakai, terus nanti aku tidur dimana? Di kamar ayah sama ibu?” Katanya membuat ibunya melongo.
“Kenapa kamu harus tidur di kamar ayah sama ibu? Memangnya usiamu masih lima tahun.” Ibunya malah tertawa. Maya yang tersudut semakin kelihatan bingung.
“Kamu kan bisa tidur di kamar Devon. Toh kasurnya ada dua kan? Di atas sama di bawah.” Ayahnya kini ikut menimpali.

Maya yang mulai merasa ketakutan, dengan pandangan cemas mengalihkan pandangannya ke tempat kakak laki lakinya duduk. Bukannya membantunya menolak usulan kedua orangtua mereka, laki laki itu justru tidak berkomentar apa apa.

“Memangnya sampai kapan paman bibi tinggal disini?” Tanya Devan malah diluar perkiraan. Dengan tenang Ibu mereka kemudian menjawab,
“Sampai mereka bosan.” Jawabnya sambil terkekeh. Maya pun yang mendengar itu langsung menundukkan kepala. Rasanya ia ingin sekali membunuh dirinya sendiri, karena bisa bisanya merasakan debaran aneh, saat membayangkan dirinya satu kamar dengan sang kakak.

Maya berdiri dengan tampang bodoh ditengah lapangan. Entah apa yang sedang ia pikirkan, sampai sampai bola basket yang seharusnya ia tangkap dari rekannya dengan mudah melayang ke tangan lawan.
“Mayaaaa!” Belum sempat Maya tersadar dari lamunannya,
Dukkkkk!

Untuk kesekian kali bola basket menghantam kepalanya. cukup keras, tapi ajaibnya gadis itu tampak baik baik saja. Baru setelah darah segar keluar dari hidungnya, gadis itu pun menjerit.

Begitu masuk ke dalam uks, Maya diam diam melihat kakaknya, Devon tengah berjalan melewati tempatnya. Untungnya ia tidak sadar kalau adiknya yang bodoh sedang berbaring menyedihkan disana. Seandainya dia tau keadaanya seperti ini, entah apa yang akan dilakukan Devon padanya.

Meski terkenal dingin dan enggak pedulian sama orang, apalagi perempuan, Devon tetap memiliki kepedulian yang tinggi terhadap adiknya. Bahkan sejak mereka kecil, Devon lah yang selalu menolongnya jika gadis itu jatuh dari pohon, terluka atau diintimidasi anak lain. Tapi lain dulu lain sekarang.
Meski dari luar mereka tampak seperti saudara. Tapi sesungguhnya Maya tidak bisa menganggap Devon sebagai kakaknya.

Bagaimana bisa Devon menjadi kakaknya, jika berdekatan dengan cowok itu saja jantungnya berdebar debar. Mereka memang bersaudara tapi tidak satu darah. Devon lahir dari perempuan yang menikah dengan ayahnya pertama kali. Sedang ibunya adalah istri kedua dari ayahnya Devon. Ibu kandung Devon meninggal sesaat setelah melahirkan Devon. Dan begitu usia mereka 3 tahun, saat itulah Maya menyadari kalau dirinya tiba tiba memiliki kakak laki laki yang usianya setahun lebih tua darinya.

“Maya,” panggil seseorang dari depan pintu. Gadis itu pun terserak.
“Iya!” Katanya dengan tampang konyol. Dan ia makin terperanjat, saat melihat kakaknya tau tau sudah berdiri disana. Menatap dirinya yang sedang berbaring dengan sumpelan kapas di hidung.
“Oh no..” batin Maya merasa tidak memiliki wajah lagi.

Kakaknya lantas dengan tenang berjalan menghampirinya. Mengambil tas gendong miliknya dari atas ranjang uks, dan mencopot kapas yang menempel di hidungnya.

“Ayo kita pulang. Aku akan mengobatimu di rumah.” Katanya dengan sikap yang mampu membuat semua wanita di dunia ini me-le-leh.

Dengan terpesona, Maya hanya diam dan membiarkan matanya memandang wajah dingin Kakaknya. Sang kakak yang tidak sadar tengah diperhatikan, terus berjalan sambil membawakan tas sekolahnya.

“Dan sebaiknya kamu jangan sakit, karena kita masih harus membereskan kamar untuk tidur nanti malam.” Katanya tanpa sadar membuat hidung Maya kembali mimisan.

Maya hampir selesai membereskan kamar barunya. Mengingat paman dan bibinya sepertinya akan tinggal lama di rumahnya. Maya pun memutuskan. Untuk membuat tirai penghalang agar dia dan kakaknya memiliki wilayah privasi masing masing. Selain itu mencegah hal yang diinginkan Terjadi. Tidak mungkin kan, sepanjang malam Maya memandangi wajah kakaknya yang sedang tidur. Meski sebenarnya dirinya sangat menginginkan hal itu.

Maya pun tersentak saat sadar kakaknya sedang memperhatikan dirinya yang tengah memasang tirai pembatas di tengah ruangan.

“Apa harus ada barang semacam ini di kamar kita?” Ujarnya dengan nada dingin, seperti biasa. Maya yang tentu saja menjadi biang keladi dari semua ini, cuma nyengir.

“Bagus kan. Siapa tau kakak terganggu dengan suara ngorokku, haha..” jawabnya terdengar konyol. Devon hanya diam dan ia sama sekali tidak tertawa.

“Haha..” merasa ucapannya tidak didengar, Maya justru dengan konyol mengeraskan suara tawanya. Dan celakanya saat ia tertawa ia malah terjungkal ke belakang kursi yang ia naiki.

“Uwaaaa!!!” Maya yang terkejut tidak mampu menguasai tubuhnya, hingga saat tubuhnya nyaris terjerembab ke belakang,
Hap!
Devon dengan sigap tau tau sudah menangkap tubuhnya dari belakang. Keduanya spontan saling menatap. Antara sadar dan tidak Maya hanya bisa memandang wajah tampan kakaknya.

“Kau..” ucap Devon tertahan. Kedua mata Maya masih tidak berkedip. “Benar benar ceroboh.” Ucap Devon akhirnya sambil melepaskan tubuh Maya.

Dan ditengah kekakuan itu Maya mendapati Devon keluar begitu saja dari dalam kamar. Gadis itu pun menelan air liurnya dalam dalam. Berharap dugaannya salah.

Hari ini genap seminggu Maya tidur dalam satu kamar dengan Devon. Anehnya diantara mereka yang kesulitan tidur sepertinya hanya dirinya. Sejak berpindah kamar, Maya mendadak menjadi pengidap insomnia.

“Maya kesini cepetan!” Santi yang tidak tau muncul dari mana tau tau berdiri di sampingnya Maya dan menarik tangan gadis itu keluar dari dalam kelas.

“Dih, apaan sih?” Maya yang terkejut menatap temannya tidak mengerti.
Begitu keluar kelas, rupanya ia mendapati perempuan lain sedang menyatakan perasaannya pada kakaknya.

“Ya ampun, ada lagi?” Teriaknya gadis itu seakan berbicara dengan dirinya sendiri. Dan dia hanya bisa menatap kakaknya dari kejauhan.

“Kakak kamu laku bener ya.” Sahut Santi kurang ajar. Agak kesal Maya menatap sahabatnya. Tidak terima kakaknya didekati wanita lain. Apalagi dengan tampilan semenarik itu, Maya tanpa permisi segera meninggalkan kawannya tadi dan langsung mendekati TKP, tempat cewek yang dilihatnya tadi menyatakan cinta pada kakaknya.

Dan begitu ia sampai di dekat keduanya, Maya pun akhirnya mendengar penjelasan yang selama ini ditunggu tunggunya dari sang kakak.

“Ya. Aku memang menyukai orang lain. Jadi maaf aku enggak bisa Nerima kamu.” Jawaban kakaknya entah kenapa membuat perasaan Maya lega. Tapi siapa gadis lain yang disukai kakaknya?
“Kalau begitu beritahu aku siapa perempuan itu?”

“Mana boleh?” Jawab kakaknya sambil tersenyum. “Sudahlah. Kita temenan aja ya.” Pinta kakaknya kemudian. Tapi perempuan gila itu sepertinya masih belum menerima dirinya ditolak.

“Enggak mau, sebelum kamu kasih tau siapa perempuan itu. Aku enggak bakalan menyerah buat dapetin kamu.”
Ya Tuhan, batin Maya sambil menggeleng gelengan kepalanya. Nih cewek bener bener nekat!
“Oke aku kasih tau. Tapi setelah ini kamu harus berhenti ngejar aku. Oke?”
“Oke.” Sahut gadis itu cepat. Dan anehnya, entah kenapa kakaknya bisa tidak tertarik pada gadis senekat dan secantik ini.

“Kami berteman sejak kecil dan dia orang yang sangat istimewa buatku. Dia satu satunya orang yang menghiburku saat aku kehilangan ibu kandungku. Dan aku senang setiap kali dekat dengannya. Jadi aku harap kamu bisa menerima itu. Maaf ya.”

Ucapan Devon rupanya tidak hanya membuat patah hati cewek nekat tadi, tapi juga Maya yang diam diam menguping dibalik tembok kelas.

Begitu mendengar penjelasan kakaknya di sekolah tadi, Maya mendadak jadi wanita bisu. Sepanjang hari ia hanya diam dan tidak berbicara sama sekali. Bahkan saat paman bibinya memberinya oleh oleh coklat mahal, Maya malah tersenyum sebelum akhirnya menangis di dalam kamarnya.

Entah bagaimana tapi rasanya ia seperti orang telah dikhianati oleh kekasihnya. Maya bahkan tidak tau kalau selama ini kakaknya ternyata dekat dengan perempuan lain tanpa sepengetahuannya. Perempuan idamannya itu bahkan telah berhasil mengobati luka masa lalu Devon saat Devon kehilangan ibu kandungnya.
Kali ini Maya benar benar merasa kalah.

“Heh!” Devon tiba-tiba datang dari luar kamar sambil menimpuk kepala maya dengan boneka naga Segede gaban. Maya yang sedang tidak ingin berurusan dengannya memilih menjauhi daerah teritorial kakaknya. Ia langsung berjalan menuju tempat tidurnya sendiri dan mengurung diri.

Karena merasa aneh, Devon pun tau tau mendekati tempat tidur Maya dan duduk di samping tempat tidurnya.
“Kau salah makan atau kenapa sih?” Pertanyaan kakaknya yang selalu dingin dan tidak berperasaan justru semakin membuat Maya ingin menangis.

Meski hatinya sakit, karena laki laki yang disukainya menyukai orang lain, tapi tetap saja maya ternyata masih sangat menyukai suara itu.

Akhirnya karena penasaran, Maya memberanikan diri mengajak kakaknya bicara dari balik selimut.
“Kenapa kakak enggak pernah bilang?” sahut Maya tanpa pembukaan terlebih dahulu kening Devon berkerut.
“Bilang apa?” Jawabnya tidak mengerti.

“Aku dengar kakak punya temen masa kecil yang kakak suka.”
Untuk sesaat Devon tidak menjawab Maya diam, Devon pun demikian. Tampaknya Devon terkejut.
“darimana kamu tau?” Tanyanya lagi tanpa berani menatap adiknya yang tiba tiba berbalik kedepan dan menatapnya dari atas tempat tidur. Ada gurat kekecewaan dibalik tatapan adiknya.

“memangnya waktu kecil kita punya teman perempuannya ya? Kenapa aku enggak tau.” Dengan polos Maya memandang kakaknya yang terduduk kaku disampingnya.

“Teman perempuan apa sih? Dari kecil kan kakak selalu berdua sama kamu.”
“Nah terus cewek yang kakak maksud tadi di seko..” Maya menghentikan ucapannya.
Benar juga!

Maya akhirnya menyadari sesuatu. Kakaknya memang tidak pernah berteman dengan wanita manapun sejak mereka masih kecil. Adapun yang memiliki banyak teman cewek justru Maya sendiri. Jadi siapa teman wanita yang dimaksud kakaknya tadi di sekolah?

Apa mungkin.. agak terkejut Maya terbangun dari tempatnya berbaring. Ia pun kembali mengingat ucapan kakaknya di sekolah tadi.

“Kami berteman sejak kecil dan dia orang yang sangat istimewa buatku. Dia satu satunya orang yang menghiburku saat aku kehilangan ibu kandungku. Dan aku senang setiap kali dekat dengannya.”

maya tidak bisa lagi membendung perasaan bahagianya. Dengan penuh cinta dipandanginya wajah sang kakak yang tampak bingung di hadapannya. Dan begitu Maya dengan nekat menggenggam tangannya, laki laki itu pun terpaku.

“Maya, Devon, keluar dong dari kamar. Bantuin ibu masak nih!”

Agak terkejut keduanya mengalihkan pandangan ke arah pintu. Dan begitu mereka akan keluar dari kamar, Devon dengan malu malu tapi ingin menggenggam tangan adiknya mesra. Keduanya saling melempar senyum bahagia. Keduanya tidak bisa membayangkan. Entah akan seperti apa kehidupan asmara mereka kedepan…

Sekian...

Post a Comment

Previous Post Next Post